- September 28, 2018
- Posted by: admin
- Category: Pajak Domestik
Pemerintah tengah mengkaji penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) atas bunga surat utang atau obligasi pemerintah dan swasta. Namun, Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menilai kebijakan itu tidak perlu. Sebab, penurunan tarif bisa membuat perbankan menghadapi risiko perebutan dana.
Penurunan tarif PPh bunga obligasi bakal membuat instrumen tersebut lebih berdaya tarik. Alhasil, investor bisa jadi bakal lebih memilih untuk menempatkan dananya di obligasi dibandingkan deposito bank. Apalagi, obligasi lebih mudah dicairkan dibandingkan deposito yang memiliki jangka waktu penempatan.
Risiko tersebut bakal makin besar bila kebijakan yang diambil pemerintah adalah menghilangkan tarif PPh bunga obligasi. “Ada persaingan dengan bank kalau pemerintah jual obligasi tapi tidak ada pajak. Tentu perbankan harus bersaing untuk mendapatkan dana,” kata Lana kepada Katadata.co.id, Selasa (25/9).
Lana menjelaskan, perbankan bakal sulit berkompetisi sebab tidak dapat mengubah ketentuan pajak bunga deposito yang diatur oleh Direktorat Jenderal Pajak. Apalagi, pemberian hadiah langsung seperti cashback dilarang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Bank bisa berikan cashback dari (jumlah) nilai pajak itu. Ini akan menjadi makin kompetitif. Masalahnya, bank kan tidak berani seperti itu,” ujar Lana. (Baca juga: LPS: Bunga Naik, Ada Perpindahan Dana Simpanan di Antara Bank)
Selain memperingatkan soal risiko perebutan dana, Lana memperingatkan soal potensi penurunan penerimaan pajak bila pemerintah jadi memangkas tarif PPh bunga obligasi. Artinya, bila kebijakan itu diterapkan, pemerintah perlu mencari pengganti dari potensi pajak yang hilang.
Di sisi lain, Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menilai lebih baik pemerintah menaikkan imbal hasil (yield) obligasi yang diterbitkannya dibandingkan menurunkan tarif PPh obligasi. “Mending biarkan yield naik. Akui saja kita belum kompetitif,” ujarnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 131 Tahun 2000 tentang PPh atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI), pengenaan PPh sebesar 20% dari jumlah bruto bagi wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) serta wajib pajak asing.
Di sisi lain, aturan PPh bunga obligasi tertuang dalam PP No. 100/2013. Dalam aturan tersebut, bunga obligasi dapat berbentuk bunga atau diskonto. Bunga atau diskonto dari obligasi ditetapkan 15% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Sementara, wajib pajak luar negeri selain BUT dikenakan bunga sebesar 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran.
Sebelumnya, informasi mengenai pengkajian penurunan tarif PPh untuk bunga obligasi pemerintah dan swasta disampaikan Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan. Ia mengatakan tujuan pengkajian adalah untuk pendalaman pasar keuangan sebab kondisi moneter akan dipengaruhi oleh instrumen keuangan.
Tujuan lainnya, menurunkan permintaan yield dari investor yang kian tinggi. Saat ini, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun berada di level 8,19%, naik 188 basis poin dibandingkan posisi awal tahun. Hal itu seiring aksi jual yang dilakukan investor dan kenaikan yield US Treasury untuk tenor yang sama. Namun, yield obligasi pemerintah tersebut sebetulnya sudah lebih rendah dibandingkan beberapa waktu lalu yang sempat menembus 8,6%.
“Siapa tahu pajaknya masuk ke (pertimbangan investor). Mereka kan punya bidding power untuk mempengaruhi kupon,” kata Robert di Kompleks Parlemen DPR, Senin (24/9).
Source: https://katadata.co.id/berita/2018/09/25/pph-bunga-obligasi-dikaji-turun-bank-hadapi-risiko-perebutan-dana